Total Tayangan Halaman

Minggu, 26 Desember 2010

METODE SIX SIGMA

SIX SIGMA
Selama ini, Six Sigma dikenal sebagai salah satu program peningkatan kualitas (quality improvement) yang ampuh diterapkan di dunia produksi dan manufaktur. Konsep yang diperkenalkan oleh Motorola ini, sempat menggemparkan bidang Total Quality Management oleh karena hasil spektakuler yang mampu dicapai oleh Motorola dan berbagai perusahaan multinasional lainnya berkat program Six Sigma mereka.Menurut laporan yang dirilis oleh Motorola pada bulan Januari 1999, sekitar $15 milyar berhasil dihemat selama kurun waktu 11 tahun. Semua itu berkat program Six Sigma yang dijalankan secara konsisten di perusahaan tersebut. Selama masa implementasi Six Sigma yang disebut “Decade of Improvement” di Motorola tersebut, proses cycle time bahkan berhasil dikurangi hingga sekitar 90%. Sebuah angka yang fantastis tentunya! Karena dianggap sangat menyentuh sisi bottom-line bisnis, inisiatif Motorola tersebut kemudian diikuti pula oleh beberapa perusahaan yang lain. Sebagai contoh adalah AlliedSignal. Dilaporkan oleh CEO AlliedSignal, Lawrence Bossidy (1999) bahwa implementasi Total Quality Management dikombinasi dengan Six Sigma di dalam proses produksi mereka telah berhasil meningkatkan level produktivitas tahunan sebesar 6%. Hal ini hanya terjadi dalam kurun waktu implementasi Six Sigma selama 2 tahun. Begitu pula yang dilakukan oleh General Electric (GE) mengikuti sukses Motorola. Tingkat produksi mereka meningkat tajam berkat Six Sigma, sehingga mampu memberikan kontribusi sekitar $2 milyar sebagai keuntungan pada tahun 1999. Ketika diperkenalkan pertama kali di GE, sekitar 100,000 karyawan mereka langsung dilatih secara intensif mengenai konsep dan metodologi Six Sigma ini.
Apakah Six Sigma itu?
Menurut Harry, M.J dalam bukunya “The Vision of Six Sigma: A Roadmap for Breakthrough (1994, Phoenix, AZ, Six Sigma Publishing Co.) Six Sigma diartikan sebagai pendekatan logis, metodis dan statistik untuk mencapai perbaikan berkesinambungan (continuous improvements) di area-area yang sangat penting (critical areas) bagi keberhasilan perusahaan di bidang produksi maupun jasa.
Pada prinsipnya, konsep Six Sigma adalah terminologi statistik yang berupaya mencapai kesuksesan produksi atau jasa dalam tingkat maksimum, yakni ‘hanya’ 3.4 penyimpangan per sejuta proses yang terjadi. Kata Sigma, diambil dari bahasa Yunani yang melambangkan standard deviasi atau variasi di dalam suatu proses produksi atau jasa. Kebanyakan organisasi beroperasi dalam Three-Sigma level atau sekitar 66,000 penyimpangan per sejuta proses. Bandingkan dengan 3.4 penyimpangan dalam sejuta proses yang menjadi standard bagi Six Sigma.
Seperti telah disebutkan di atas, konsep Six Sigma ini sendiri lahir pada era 80-an dari perusahaan Motorola. Dilihat dari sejarahnya, konsep ini muncul tatkala Amerika harus menghadapi kompetisi yang keras dengan produk-produk yang berasal dari Jepang. Melalui program Six Sigma ini, Motorola bertekad untuk mengembangkan program formal yang dapat mengurangi penyimpangan-penyimpangan pada produknya. Pada waktu itu, upaya yang dilakukan oleh Motorola adalah membuat keputusan berani untuk mencapai level six sigma untuk meningkatkan daya kompetisinya. Sejak dicanangkannya program tersebut, six sigma akhirnya menjadi semacam kultur dasar yang kemudian diterapkan diseluruh jajaran Motorola. Untuk sederhananya, proses perubahan yang dikembangkan Motorola dan juga perusahaan lainnya dalam Six Sigma cenderung mengikuti konsep plan-do-check-action Deming yang kemudian dimodifikasi menjadi 5 tahapan yakni:
• Prioritas (prioritize): proses mana yang perlu menduduki prioritas utama untuk dikembangkan. Atau, proses mana yang akan memberikan kontribusi tertingggi bagi peningkatan kepuasan pelanggan?
• Ukur (measure): Bagaimana level atau tingkatan kemampuan proses itu pada kondisi sekarang?
• Analisa (analyze): Kapan dan dimana sering terjadi penyimpangan?
• Tingkatkan (Improve): Bagaimana kemampuan six sigma tersebut dapat dicapai? Apa faktor paling vital yang mengontrol hasil pekerjaan tersebut?
• Kontrol (Control): Kontrol apa yang dapat diterapkan untuk mempertahankan hasil yang telah dicapai?
Bukan untuk Bidang Produksi Saja
Memang, pada awalnya, metodologi six sigma ini diimprovisasi dan diaplikasikan secara khusus untuk bidang-bidang manufakturing berskala besar (high-volume manufacturing) saja. Misalkan seperti yang dilaporkan oleh PricewaterhouseCooppers (1999), kini program Six Sigma banyak diadopsi oleh berbagai perusahaan multinasional di bidang chemical untuk proses produksi mereka seperti Dupont, Haneywall, GE Plastics, dll.
Praktek ini jelas menimbulkan kesan bahwa Six Sigma hanya bisa diterapkan di bidang-bidang yang berhubungan dengan produksi high-volume, bidang manufacturing. Padahal, sebenarnya Six Sigma pun dapat diterapkan baik di bidang high-volume maupun low-volume untuk usaha produksi maupun jasa. Sebagai contoh adalah berbagai implementasi six sigma yang telah berhasil dijalankan diberbagai perusahaan jasa seperti dilaporkan oleh Joseph A. DeFeo, Chief Operating Officer dari Juran Institute , misalnya:
• Sebuah perusahaan fast-food internasional berhasil mengurangi lamanya proses delivery makanan kepada pelanggannya serta mengurangi penyimpagan-penyimpangan pada saat memasak dengan menggunakan program six sigma ini. Dalam waktu kurang dari dua tahun, perusahaan ini berhasil mencapai $10 juta profit dengan metode-metode six sigma yang berupaya mengidentifikasi dan mengimplementasikan proses untuk meningkatkan waktu pelayanan mereka.
• Suatu perusahaan farmasi internasional melakukan suatu studi mendalam terhadap biaya, waktu dan kualitas dari sistem akuntasi mereka. Dari studi yang menggunakan pendekatan six sigma tersebut berhasil teridentifikasi sekitar 22% proses yang ternyata ‘mubazir’ dilakukan. Dengan cara ini perusahaan farmasi ini dapat meningkatkan profit melalui pengurangan waktu yang terbuang percuma sekaligus meningkatkan kepuasan pelanggan internal mereka.
• Sebuah perusahaan penerbangan yang menghadapi persaingan yang tajam, menerapkan sistem six sigma ini untuk meningkatkan pelayanan. Caranya adalah dengan mengurangi angka keterlambatan serta efisiensi jadwal penerbangan, di luar akibat-akibat teknis. Melalui program six sigma ini angka keterlambatan akibat faktor non-teknis dapat direduksi hingga 70% dalam kurun waktu tiga tahun penerapan program six sigma ini.
Dengan memungkinkannya aplikasi six sigma pada industri-industri jasa seperti dicontohkan di atas, sebenarnya menunjukkan bahwa mitos berupa “six sigma hanya untuk produksi atau manufacturing” dapat ditepis. Six Sigma ternyata dapat dipadukan dengan strategi, proses industri manapun, tentunya jika didukung oleh kualitas SDMyang memadai (lihat gambar 1). Bahkan, belakangan ini muncul tren baru untuk menggunakan six sigma sebagai metode yang efektif dalam rangka efisiensi proses atau untuk meningkatkan proses-proses kerja yang critical dan penting dalam suatu perusahaan. Inilah dasar penting yang mendorong aplikasi besar-besaran six sigma di sektor-sektor non-produksi seperti: perdagangan, marketing, transaksi finance, document processing, dll termasuk yang akan kita bicarakan yakni penerapan six sigma untuk efisiensi fungsi SDM.
Pentingnya Six Sigma untuk bidang SDM
Perlu diketahui bahwa dasar filosofis (basic philosophy) implementasi konsep dan sistem Six Sigma di bidang SDM atau HRD (human resources development) adalah untuk menempatkan orang yang tepat pada fungsi yang tepat, pada waktu yang tepat serta dengan biaya yang tepat. Atau, biasanya diistilahkan dengan right people in the right place at the right time at the right cost. Saat ini, Six Sigma sudah mulai diterapkan oleh beberapa perusahaan multinasional untuk bidang SDM mereka, termasuk Citibank melalui program mereka yang disebut Citibank Cross Functional Performance Challenge. Program ini merupakan hasil kerjasama Citibank dengan Motorola University Consulting and Training Services sejak tahun 1997 (Rochelle Rucker, “Citibank Increases Customer Loyalty With Defect-Free Processes”, 2000). Termasuk pula disini adalah perusahaan AlliedSignal yang mulai menerapkan six sigma di luar bidang produksi mereka.
Hal ini dilakukan sebagai langkah strategis untuk pengembangan proses SDM mereka. Berbagai hasil yang diperoleh melalui konsep ini adalah terjadinya peningkatan efektivitas kerja fungsi SDM, proses kerja yang lebih cepat serta lebih cost-effective dengan meningkatnya kepuasan internal customer, peningkatan motivasi serta kepuasan kerja di lingkungan SDM, yang pada akhirnya, meningkatkan kinerja bisnis secara menyeluruh. Aplikasi konsep six sigma untuk fungsi SDM sebenarnya juga membantu HRD (Human Resources Department) mengeliminasi berbagai persepsi atau pandangan negatif yang seringkali ditujukan ke departemen HRD. Selama ini HRD seringkali dianggap hanya merupakan cost center, tempat menampung ‘sampah’ berupa keluhan dan komplain karyawan bermasalah, serta seringkali dianggap tidak memberikan kontribusi kepada proses kinerja bisnis. Akibatnya, HRD seringkali dipandang sebagai departemen yang reputasinya kurang diperhatikan. Apalagi, pada beberapa perusahaan, HRD-nya justru seringkali memberikan servis yang jelek, lambat serta kurang hemat biaya di dalam program-program mereka.
Padahal banyak studi menunjukkan bahwa bidang SDM mempunyai implikasi yang besar terhadap keseluruhan kinerja bisnis. Sebagai bukti, dalam tulisannya “Impact of People Management Practices on Business Performance” mengenai hasil riset yang dilakukan oleh Patterson, dkk terhadap sekitar 100 buah perusahaan kecil dan menengah di Inggris disimpulkan bahwa, “Praktek SDM di suatu perusahaan adalah prediktor utama keberhasilan dalam perkembangan bisnis setiap perusahaan”.
Dengan demikian, dilihat dari metodenya sendiri, tujuan utama dari penerapan six sigma untuk bidang HRD antara lain: memperbaiki proses kerja yang lambat, mengurangi terjadinya penyimpangan-penyimpangan kerja, mereduksi proses kerja berulang yang tidak efektif, mempertahankan proses kerja pada level yang optimal, serta memperbaiki proses kerja HRD yang berpengaruh secara signifikan terhadap strategi bisnis dengan berfokus pada kepuasan pelanggan internal (internal customer). Selanjutnya, tujuan utama lain yang juga hendak dicapai adalah meningkatkan kepercayaan serta kontribusi fungsi HRD, meningkatkan kepuasan internal HRD sendiri, mempromosikan efektivitas program six sigma serta meningkatkan kerjasama tim yang lebih baik. Tabel 1 berikut menggambarkan perbedaan paradigma dan nilai pada HRD yang tradisional dengan yang menganut sistem six sigma:
Dilihat dari berbagai tujuan tersebut di atas, tidak diragukan bahwa six sigma memang tampak ideal bagi departemen HRD. Hanya saja, Six Sigma bukanlah suatu program singkat atau proyek pengembangan cara cepat (short cut program). Kenyataan menunjukkan bahwa didalam penerapannya, dibutuhkan komitmen yang tinggi, disiplin, kerjasama serta ketekunan untuk mempraktekkan metode dan sistem six sigma ini. Masalahnya, kadang-kadang hasil dari implementasi program six sigma seringkali baru dapat dirasakan tiga atau empat tahun kemudian. Suatu periode waktu yang seringkali membuat banyak pelaku bisnis berpikir dua kali sebelum berkomitmen untuk menerapkan sistem ini.
Kesamaan-Perbedaan Aplikasi Six Sigma untuk HRD dan Produksi
Pertama-tama, mari kita lihat kesamaan antara penerapan six sigma di bidang SDM dengan proses produksi (manufacturing). Kesamaan-kesamaan itu adalah:
•sama-sama melihat pentingnya isu manusia dalam memperbaiki kinerja dan mereduksi penyimpangan (misalkan, ketakutan akan perubahan sistem, ketakutan untuk diukur, ketidakpuasan dengan proses kerja tertentu, etc.);
•perlunya melibatkan dua ujung dari suatu proses yakni mulai dari supplier hingga pelanggan (customer);
•perlunya memetakan proses yang berlangsung saat ini;
•kebutuhan akan alat pengukuran yang mudah digunakan, efektif, untuk mendukung program six sigma;
•pentingnya cara mengkoleksi data yang tepat dan akurat;
Dan yang terpenting, keberhasilan penerapan six sigma baik di bidang SDM maupun produksi atau manufacturing jelas-jelas sangat tergantung pada komitmen dari para pimpinan.
Beberapa perbedaan nyata antara aplikasi six sigma untuk bidang SDM yang berbeda dengan proses manufakturing adalah:
•banyaknya variabel di bidang SDM yang sulit diukur;
•bidang SDM berhubungan denagan pengukuran sikap manusia yang kadang-kadang sulit dikendalikan;
•banyaknya cost yang tak dapat dikuantifikasikan dalam bidang HR;
•dibutuhkan kreativitas yang tinggi untuk mampu menerjemahkan sesuatu proses di HRD sehingga dapat diukur;
•variasi requirement customer yang tinggi dan variatif pada bidang SDM
Metodologi Aplikatif untuk HRD
Singkatnya, model six sigma yang banyak dikembangkan untuk bidang HRD sekarang ini adalah model perubahan berdasarkan konsep Six Sigma yang mencakup langkah-langkah prioritize-measure-analyse-improve-control. Adapun langkah-langkah praktisnya adalah sebagai berikut:
1. Prioritize >> 2. Measure >> 3. Analyze >> 4. Improve 5. Control
Prioritas. Prioritas dimulai dengan mengidentifikasikan servis apa saja yang diberikan oleh HRD. Kemudian, para pelanggan internal, biasanya orang-orang dari departemen lain, diminta untuk mengidentifikasi serta ditanya untuk menunjukkan hal-hal yang mereka anggap penting dari pelayanan HRD bagi mereka. Kemudian, dari data yang diperoleh, HRD membuat prioritas mulai dari servis HRD yang dianggap paling penting hingga yang kurang penting. Dalam hal ini, Pareto chart dapat dipakai sebagai alat bantu analisis untuk menentukan isu-isu atau masalah-masalah yang dianggap paling penting bagi pelanggan internal.
Pengukuran. Setelah membuat prioritas, pihak HRD melakukan pengukuran terhadap proses kerja atau kinerja yang berkaitan dengan faktor-faktor penting yang dianggap perlu mendapatkan prioritas. Hal ini biasanya cukup sulit. Khususnya ketika HRD harus mengkuantifikasikan proses kerja yang tadinya kualitatif. Misalkan saja, mengukur tingkat relevansi pelatihan yang diberikan dengan job requirement posisi tertentu, mengukur tingkat penyimpangan dalam proses rekrutmen antara kriteria permintaan user dengan kualifikasi calon yang direkrut atau mengukur kepuasan pelanggan internal terhadap pelayanan departemen HRD. Akan jauh lebih mudah mengukur proses kerja HRD yang mudah dikuantifikasi misalkan: lamanya proses perhitungan gaji, jumlah penyimpangan dalam perhitungan gaji, lamanya proses pembuatan dokumen tertentu, dll.
Selain pengukuran yang bersifat kuantitatif di atas, ada pula beberapa aspek kualitatif yang harus dipertimbangkan. Dalam hal ini biasanya dibuat suatu kriteria yang dikenal sebagai measures of performance selection (MOPS) yang pada intinya mengukur berbagai faktor, misalkan: keterkaitan antara berbagai proses di HR dengan tujuan perusahaan; critical-to-quality measures (CTQ) di department HRD; menentukan critical-to-cost measures (CTX); mengukur added value bagi organisasi serta added value suatu proses bagi individu.
Analisis. Analisis paling efektif dimulai dengan penyusunan peta proses HR secara keseluruhan. Peta yang efektif dan komprehensif, pada akhirnya akan dapat menggambarkan efisien tidaknya suatu proses yang telah berjalan di departemen HRD. 4 proses utama yang biasanya dianalisis pertama kali dalam bidang HR biasanya menyangkut proses komunikasi, resourcing, pemberian imbal jasa serta pengembangan manusia. Dalam proses analisis, setiap langkah maupun proses di HRD ditantang dengan pertanyaan-pertanyaan kritis seperti: Apakah added value dari proses-proses ini? Bisakah cycle time-nya dipersingkat? Apakah proses ini bisa dibuat menjadi lebih sederhana? Dimanakah penyimpangan dari standar pekerjaan di HRD sering terjadi? Bagaimana mengurangi angka penyimpangan tersebut? dll.
Improve. Setelah dilakukan analisis, berikutnya adalah melakukan pengembangan, modifikasi dan implementasi atas berbagai alternatif solusi yang mungkin dilakukan. Solusi tersebut dibuat mengikuti hasil identifikasi atas berbagai parameter vital yang telah dievaluasi. Inisiatif improvement ini dapat berupa pencatatan, pelaporan, sistem informasi, proses kerja baru, program baru atau metode kerja yang lebih disempurnakan. Yang terpenting pada langkah ini adalah mencari cara atau metode untuk ‘menantang HRD’ mencapai level six sigma, atau hanya terjadi sekitar 3.4 penyimpangan per sejuta suatu proses kerja. Misalkan saja, untuk mengurangi penyimpangan yang tinggi antara training plan dengan realisasi pelatihan (training realization), sebuah perusahaan multinasional bidang information technology menggunakan sistem informasi real time yang mampu mengingatkan siapa-siapa nama karyawan yang direncanakan untuk diberikan pelatihan. Proses ini secara signifikan membantu tingkat realisasi training plan yang tandinya hanya 30% meningkat menjadi 80%.
Control. Tujuan utama dari tahapan kontrol ini adalah untuk mempertahankan serta memperoleh pengembangan berkesinambungan (continuous improvement) dari proses yang terjadi di HRD. Laporan kuartal serta review yang dilakukan secara berkala oleh departemen HRD dapat dijadikan sebagai alat kontrol efektivitas atas perbaikan yang telah dilakukan di tahapan sebelumnya. Dalam tahapan kontrol ini biasanya dibuat hasil proses analisis (control charts, histograms, grafik kecenderungan serta monitoring charts yang lain), kesimpulan, observasi serta tindakan perbaikan yang dianggap perlu dilakukan di waktu yang akan datang.
(Sumber: Six Sigma Plus, 2000)

a.Definisi Six Sigma
Definisi Six Sigma berbeda-beda tergantung dari sudut pandang pendefinisisnnya. Berikut merupakan definisi Six Sigma dari sudut pandang bisnis:
1.Pande, et al (2000) mendefinisikan Six Sigma sebagai sistem yang komprehensif dan fleksibel untuk mencapai, mempertahankan, dan memaksimalkan sukses bisnis. Six Sigma secara unik dikendalikan oleh pemahaman yang kuat terhadap kebutuhan pelanggan, penggunaan yang disiplin terhadap fakta, data, analisis statistik, dan perhatian yang cermat untuk mengelola, memperbaiki proses bisnis.
2.Harry dan Schroeder (2000) mendefinisikan Six Sigma sebagai suatu strategi menajemen proses bisnis yang mengizinkan perusahaan untuk meningkatkan lini produksinya secara drastis dengan merancang dan memonitor aktifitas bisnis setiap hari dalam rangka meminimumkan pemborosan dan sumber daya serta meningkatkan kepuasan konsumen.
3.Six Sigma merupakan suatu metodologi terstruktur untuk memperbaiki proses yang difokuskan pada usaha mengurangi variasi proses (process variances) sekaligus mengurangi cacat (produk/jasa yang diluar spesifikasi) dengan menggunakan statistik dan problem solving tools secara intensif.
Beradasarkan definisi Six Sigma diatas, dapat disimpulkan Six Sigma dilihat dari sudut pandang bisnis adalah sistem yang komprehensif dan fleksibel dalam manajemen proses bisnis untuk meningkatkan lini produksi, variasi suatu proses dan mengurangi kecacatan menggunakan statistik dan problem solving tool.
Selain itu, definisi Six Sigma dari sudut pandang statistik adalah sebagai berikut:
1.Secara harfiah, Six Sigma adalah besaran yang bisa kita terjemahkan secara gampang sebagai sebuah proses yang memiliki kemungkinan cacat (defect opportinity) sebanyak 3,4 buah dalam satu juta produk/jasa.
2.Gasperz (2002) memberikan definisi bahwa Six Sigma merupakan suatu visi peningkatan kualitas menuju target 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO-defect per million opportunities) untuk setiap transaksi produk (barang/jasa). Upaya giat menuju kesempurnaan (zero defect – kegagalan nol).
Berdasarkan definisi Six Sigma di atas , dapat disimpulkan bahwa Six Sigma dilihat dari sudut pandang statistik adalah suatu visi peningkatan kualitas menuju proses dengan kemungkinan kecacatan 3,4 dalam sejuta produk.
Menurut Peter Pande,dkk, dalam bukunya The Six Sigma Way: Team Fieldbook, ada enam komponen utama konsep Six Sigma sebagai strategi bisnis, yaitu:
1.Benar-benar mengutamakan pelanggan: seperti kita sadari bersama, pelanggan bukan hanya berarti pembeli, tapi bisa juga berarti rekan kerja kita, tim yang menerima hasil kerja kita, pemerintah, masyarakat umum pengguna jasa, dll.
2.Manajemen yang berdasarkan data dan fakta: bukan berdasarkan opini, atau pendapat tanpa dasar.
3.Fokus pada proses, manajemen dan perbaikan: Six Sigma sangat tergantung kemampuan kita mengerti proses yang dipadu dengan manajemen yang bagus untuk melakukan perbaikan.
4.Manajemen yang proaktif: peran pemimpin dan manajer sangat penting dalam mengarahkan keberhasilan dalam melakukan perubahan.
5.Kolaborasi tanpa batas: kerja sama antar tim yang harus mulus.
6.Selalu mengejar kesempurnaan.
Selain enam hal diatas, ciri lain dari penerapan Six Sigma adalah waktu untuk perbaikan yang ditargetkan bisa diselesaikan dalam 4 – 6 bulan.
b. Konsep Six Sigma Motorola
Pada dasarnya pelanggan akan puas apabila mereka menerima nilai yang diharapkan mereka. Apabila produk (barang/jasa) diproses pada tingkat kualitas six sigma, maka perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO) atau mengharapkan bahwa 99,99966 persen dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk itu. Dengan demikian Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem industri, tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok (industri) dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target sigma dicapai, maka kinerja sistem industri akan semakin baik. Sehingga Six Sigma otomatis lebih baik daripada 4-sigma, lebih baik dari 3-sigma. Six Sigma juga dapat dianggap sebagai strategi terobosan yang memungkinkan perusahaan melakukan peningkatan luar biasa (dramatik) di tingkat bawah. Six Sigma juga dapat dipandang sebagai pengendalian proses industri berfokus pada pelanggan, melalui memperhatiakan kemampuan proses Gazpersz, 2002).
Terdapat enam aspek kunci yang perlu diperhatikan dalam aplikasi konsep Six Sigma yaitu: (Gazperz, 2002)
1.Identifikasi pelanggan anda
2.Identifikasi produk anda
3.Identifikasi kebutuhan anda dalam memproduksi produk untuk pelanggan anda
4.Definisikan proses anda
5.Hindarkan kesalahan dalan proses anda dan hilangkan semua pemborosan yang ada
6.Meningkatkan proses secara terus menerus menuju target six sigma
Apabila konsep Six Sigma akan diterapkan dalam bidang manufakturing, maka perhatikan enam aspek berikut (Gaspersz, 2002):
1.Identifikasi karakteristik produk yang akan memuaskan pelanggan anda. Mengklasifikasikan semua karakteristik kualitas itu sebagai CTQ (critical to quality) individual. Menurut Gaspersz (2002), CTQ merupakan atribut-atribut yang sangat penting untuk dipertahankan karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Merupakan elemen dari suatu produk, proses atau praktek-praktek yang berdampak langsung pada kepuasan pelanggan. Sedangkan berdasarkan www.isixsigma.com, CTQ adalah karakteristik kunci pengukuran produk atau proses dengan standard atau spesifikasi batas tertentu agar dapat memenuhi keinginan dan memberikan kepuasan kepada pelanggan. CTQ produk atau proses didefinisikan oleh pelanggan baik internal maupun eksternal.
2.Menentukan apakah setiap CTQ itu dapat dikendalikan melalui pengendalian material, mesin, proses kerja, dll.
3.Menentukan batas maksimum toleransi untuk setiap CTQ sesuai keinginan pelanggan (menentukan USL dan LSL dari setiap CTQ).
4.Menentukan maksimum variasi proses untuk setiap CTQ (menentukan nilai maksimum standar deviasi untuk setiap CTQ).
5.Mengubah desain produk atau proses sedemikian rupa agar mampu mencapai nilai target Six Sigma, yang berarti memiliki indeks kemampuan proses, Cp minimum = 2 (Cp2).
Pendekatan pengendalian proses Six Sigma motorola mengijinkan adanya pergeseran nilai target rata-rata (mean) setiap CTQ individual dari proses industri sebesar 1,5 sigma sehingga akan menghasilakn 3,4 juta DPMO (defect per million opportunities-kegagalan per sejuta kesempatan
c.Pengendalian Kualitas Six Sigma Motorola
Menurut Gaspersz (2002), Six Sigma motorola merupakan suatu metode atau teknik pengendalian dan peningkatan kualitas yang merupakan terobosan baru dalam bidang manajemen kualitas. Konsep Six Sigma motorola ini pada awalnya dikembangkan oleh perusahaan motorola di Amerika Serikat. Banyak ahli manajemen kualitas manyatakan bahwa metode Six Sigma motorola dikembangkan dan diterima secara luas oleh dunia industri, karena manajemen industri frustasi terhadap sistem manajemen kualitas yang ada, yang tidak mampu melakukan peningkatan kualitas menuju tingkat kegagalan nol (Zero Defect).
Pada saat ini masih terdapat kerancuan di banyak pihak terutama di kalangan industri tentang prinsip-prinsip Six Sigma, yang seolah-olah merupakan pengembangan dari 3-sigma statistical quality control. Memang ide dasar dari prinsip Six Sigma diambil dari 3 sigma statistical quality control, tetapi implementasinya sangat berbeda.
Beberapa keberhasilan motorola yang patut dicacat dari aplikasi program Six Sigma adalah:
•Peningkatan produktifitas rata-rata: 12,3%
•Penurunan COPQ (cost of poor quality) lebih dari 84%
•Eliminasi kegagalan dalam proses sekitar 99,7%
•Penghematan biaya lebih dari $11 milyar.
•Peningkatan tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata: 17% dalam penerimaan, keuntungan dan harga saham motorola
•Peningkatan keuntungan (contribution margin improvement) rata-rata 20%
•Peningkatan kapasitas sekitar 12%-18%
•Penghematan tenaga kerja sekitar 12%
•Penurunan penggunaan modal operasional sekitar 10-30%
d. Metodologi six sigma
DMAIC (Define-Measure-Analyze-Improver-Control)
DMAIC merupakan salah satu metodologi Six Sigma yang digunakan dengan tujuan melakukan perbaikan proses terhadap produk atau proses yang sedang berlangsung di perusahaan. (www.isixsigma.com). Terdiri dari beberapa tahapan yaitu:
Define :mengidentifikasikan permasalahan, mendefinisikan proses yang memberikan kontribusi masalah yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas produk, menentukan tujuan (pengurangan cacat/biaya dan target waktu).
Measure:memvalidasi permasalahan, mengukur/menganalisis permasalahan dari data yang ada. Pada tahap ini dilakukan pengukuran kapabilitas proses. Jika perusahaan tidak mengetahui kapabilitas proses maka kapabilitas proses bisnis yang dijalankan juga tidak diketahui.
Analyze: menganalisis seberapa baik proses yang sedang berlangsung dan mengidentifikasi penyebab variasi produk yang mempengaruhi kapabilitas proses, menentukan faktor-faktor yang paling mempengaruhi proses; artinya mencari satu atau dua faktor yang kalau itu diperbaiki akan memperbaiki proses.
Improve:melakukan perbaikan proses dengan mengeliminasi defect. Mendiskusikan ide-ide untuk memperbaiki sistem yang ada berdasarkan hasil analisis terdahulu, melakukan percobaan untuk melihat hasilnya, jika bagus lalu dibuatkan prosedur bakunya (Standard Operating Procedure-SOP).
Control: mengendalikan performansi proses di masa yang akan datang. Bisa dilakukan dengan membuat semacam metrics untuk selalu dimonitor dan dikoreksi, bila sudah mulai menurun ataupun untuk melakukan perbaikan lagi
Adapun unsur-unsur DMAIC secara rinci dipaparkan dalam tabel 2.5 Menurut Gaspersz (2002), tahap pengembangan rencana operasional (improve) dapat digunakan menggunakan metode 5W-2H. Penjelasan mengenai metode 5W-2H secara terperinci disajikan dalam tabel 2.5, yaitu sebagai berikut:
e.Tools yang digunakan dalam Six Sigma
Pada sub bab ini dipaparkan alat-alat yang digunakan dalam Six Sigma terkait dengan penelitian ini. Adapun alat-alat tersebut dipaparkan secara terperinci sebagai berikut:
1.Diagram Pareto
Diagram pareto merupakan suatu gambar yang mengurutkan klasifikasi data dari kiri ke kanan menurut urutan ranking tertinggi hingga terendah. Diagram pareto digunakan untuk mengidentifikasi masalah yang terpenting. Dengan mengetahui urutan permasalahan dari ranking tertinggi hingga terendah, maka dapat diketahui masalah terpenting yang harus segera diatasi.
Juran mengadaptasi prinsip yang dikemukakan Alfredo Pareto ke dalam masalah kecacatan, ”80% of the problems would be in 20% of defects” yang dikenal dengan kaidah 80/20 atau ”Pareto Principle”. Hal tersebut berarti bahwa penanganan 20% penyebab vital (vital sources) dapat memberikan perubahan atau pengaruh besar dalam penyelesaian masalah dengan sedikit usaha. Proses penyusunan diagram pareto terdiri dari 6 langkah, yaitu:
a.Menentukan metode pengklasifikasian data.
b.Menentukan satuan yang digunakan untuk membuat urutan karakteristik-karakteristik tersebut
c.Mengumpulakan data sesuai dengan interval waktu yang telah ditentukan.
d. Merangkum data dan membuat ranking kategori data tersebut dari yang terbesar hingga terkecil.
e.Menghitung frekuensi kumulatif atau presentase kumulatif yang digunakan.
f.Menggambar diagram batang, menunjukkan tingkat kepentingan relatif masing-masing masalah. Mengidentifikasi hal-hal yang penting untuk mendapat perhatian.
2.Bagan kendali (control chart)
Salah satu alat terpenting dalam pengendalian kualitas secar statistis adalah bagian kendali Shewart, dinamakan demikian karena teknik ini dekembangkan oleh Dr.Walter A.Shewart pada tahun 1920-an sewaktu bekerja di Bell Thelephone Laboratories. Kendatipun bagian kendali ini nampaknya sederhana, namun banyak ahli teknik, karyawan bagian produksi dan para pemeriksa berpendapat bahwa dalam menggunakan bagan ini diperlukan suatu pandangan yang sama sekali baru (Grant dan Leavenworth, 1998).
Bila dalam sebuah catatan (record) dibuat berdasar karakteristik mutu yang diukur secara sebenarnya, misalnya dimensi yang dinyatakan dalam per seribu inchi, mutu dapat dikatakan sebagai peubah. Bila suatu catatan hanya memperlihatkan banyaknya barang yang sesuai dengan persyaratan dan yang tidak sesuai dengan persyaratan, maka ia dikatakan sebagai catatan berdasarkan atribut.
Bagan kendali untuk data berbentuk peubah, adalah bagan kendali Shewart untuk karakteristik mutu yang terukur. Dalam bahasa dinyatakan sebagai peubah atau sebagai bagan dan R (rata-rata standar deviasi sampel).
Bagan kendali untuk data berbentuk atribut adalah :
1.Bagan p, bagan untuk yang ditolak kerena tak sesuai dengan spesifikasi.
2.Bagan np, bagan kendali untuk banyaknya butir yang tidak sesuai.
3.Bagan c, bagan kendali untuk benyaknya ketidaksesuaian.
4.Bagan u, bagan kendali untuk banyaknya ketaksesuaian per satuan.
Manfaat proses kendali adalah memberitahukan kapan harus membiarkan suatu proses berjalan seadanya atau kapan harus mengambil tindakan untuk mengatasi gangguan. Kebanyakan pemeriksaan rutin terhadap produk-produk yang dibuat merupakan pemeriksaan terhadap atribut-atributnya, dengan cara mengklasifikasikan produk yang diterima dan yang ditolak. Dengan demikian bagian kendali Shewart untuk bagian yang ditolak umumnya memanfaatkan data yang sudah tersedia untuk keperluan lain atau yang dapat segera disediakan. Walaupun bagan kendali atribut kurang begitu peka dibandingkan dengan peubah dan tidak mempunyai nilai diagnostik yang cukup besar namun bagan ini dapat memberikan informasi tentang kapan dan dimana harus mengerahkan tekanan guna perbaikan mutu.
Dalam penelitian ini, bagan kendali yang digunakan adalah bagan u. Bagan u digunakan untuk menggambarkan ketaksesuaian perunit, c/c, dimana c adalah jumlah ketaksesuaian yang ditemukan dan n adalah jumlah butir, jumlah atau standar sentimeter persegi, apapun yang digunakan untuk membuat daerah kesempatan konstan bagi kemunculan ketaksesuaian.
3.Diagram sebab akibat (cause effect diagram)
Diagram sebab akibat dikembangkan oleh Dr. Kaoru Ishikawa pada tahun 1943, sehingga sering disebut diagram Ishikawa. Diagram sebab-akibat merupakan suatu gambar tersusun oleh garis dan simbol yang dirancang untuk menggambarkan hubungan antara akibat dan penyebabnya. Diagram sebab akibat digunakan untuk menyelidiki suatu akibat buruk agar dapat dilakukan perbaikan pada penyebabnya atau menyelidiki suatu akibat buruk baik agar dapat dipelajari penyebabnya.penyebab tersebut biasanya diturunkan dari babarapa penyebab utama antara lain metode kerja, material, pengukuran, manusia, peralatan/permesinan, dan lingkungan.
Manfaat diagram sebab akibat yaitu :
1.Menganalisis kondisi aktual untuk peningkatan kualitas produk atau jasa, peningkatan efisiensi penggunaan sumber daya, dan minimasi biaya.
2.Mengeliminasi kondisi yang menyebabkan ketidaksesuaian produk dan keluhan dari pelanggan.
3.Standarisasi operasi yang telah ada maupun yang direncanakan.
4.Mendidik dan melatih karyawan dalam membuat keputusan dan melakukan tindakan perbaikan.




Perusahaan yang menerapkan Six Sigma

PENERAPAN SIX SIGMA UNTUK PENINGKATAN KUALITAS PRODUK BIMOLI CLASSIC (Studi Kasus : PT. SALIM IVOMAS PRATAMA – BITUNG)

T.M.A. Ari Samadhi, Prudensy F. Opit, Yudelen M.I. Singal
Program Studi Teknik Industri
Fakultas Teknik
Unika De La Salle Manado
prudensy_f@yahoo.com



Abstrak
Salah satu metode yang digunakan untuk memberikan solusi peningkatan standar proses internal perusahaan yang bertujuan untuk meminimasi defect atau nonconforming sehingga trend kegagalan produk menurun untuk tiap periodenya adalah metode Six Sigma. Melalui penerapan siklus DMAIC (Define, Measure, Improve, Analyze, and Control) dalam Six Sigma, maka indeks kapabilitas proses (Cp) serta Defect per Million Opportunies (DPMO) dapat diketahui.
Penelitian ini dilakukan pada PT. Salim Invomas Pratama-Bitung, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan minyak goreng dengan menggunakan bahan baku kelapa sawit, dimana salah satu produk yang dihasilkan adalah Bimoli gelon 5 liter (classic). Dari karateristik kualitas Peroxide Value (PV) yang diukur oleh perusahaan selama satu periode (Februari-Maret 2007), kadar PV dengan batas maksimum 3% sering mengalami penyimpangan. Melalui pengolahan data serta analisis dengan menggunakan siklus DMAIC, didapatkan Cp sebesar 1,11 dengan nilai DPMO sebesar 3,4.

Kata Kunci : Pengendalian Kualitas, Six Sigma, DMAIC, DPMO, SOP, Indeks Kapabilitas Proses
Abstract
One of method used to give solution of corporate internal process standard improvement, whose goal to minimalize defect or nonconforming, so trend of product decrease for each period is six sigma method. Through DMIAC cycle (Define, Measure, Improve, Analyze, and Control) on six sigma, The capability Index (CP) and defect per million opportunities (DPMO) will be knew.
This reaserch was be done by PT Salim Invomas Pratama , Bitung, is one of edible oil corporate, one of product is bimoli. From quality characteristic in one period (February-March 2007) . PV content has 3 % as maximum limit. Trough data process and analysis use DMAIC, get 1,11 as CP and 3,4 s DPMO point

Keywords :Quality Control, Six Sigma, DMAIC, DPMO, SOP, Indeks Kapabilitas Proces


PENDAHULUAN
Pengendalian kualitas dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang digunakan untuk menjaga kualitas barang atau jasa agar berada pada tingkat kualitas yang diharapkan.
PT. Salim Ivomas Pratama Bitung merupakan produsen minyak goreng dengan bahan baku kelapa sawit atau disebut juga Crude Palm Oil (CPO) yang dipasarkan dalam 3 jenis kemasan, yaitu Delima 1000 ml (pouch), Bimoli dalam jerigen dengan kapasitas 5 liter (classic) dan minyak curah dalam jerigen dengan kapasitas 20 kg (bulk). Parameter penting yang harus dikontrol untuk menjaga kualitas minyak goreng adalah massa, volume, warna, kadar asam lemak bebas atau Free Fatty Acid (FFA), Iodine Value (IV), Peroxide value (PV) dan Cloud Point (CP).
Pada unit Filling dimana berlangsung proses pengisian dan pengepakan (packing) sering terjadi penyimpangan (nonconforming) pada karakteristik kualitas PV, dimana kadar PV melewati batas maksimum yang diijinkan, yaitu sebesar 3%. PV adalah bilangan peroksida, yang merupakan nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak. Nilai PV yang tinggi dapat menyebabkan minyak goreng rusak dan mengakibatkan kerugian untuk perusahaan. Apabila biaya untuk satu kali produksi dengan kapasitas 30 ton adalah sebesar Rp 150.000.000, maka diperlukan metode yang tepat untuk mengurangi nonconforming agar kerugian perusahaan dapat ditekan seminimum mungkin
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana menganalisis cara peningkatan kualitas melalui pengendalian PV pada produk Bimoli classic.
Adapun tujuan dalam penelitian ini :yaitu
1.Menentukan Indeks Kapabilitas Proses (Cp) dan nilai DPMO untuk produk Bimoli Classic.
2.Menganalisis biaya kerugian perusahaan dari segi pemasaran dan produksi untuk produk Bimoli Classic.
3.Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya nonconforming PV produk Bimoli classic.
Batasan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1.Penelitian hanya dilakukan di unit Filling.
2.Data yang digunakan dalam pembuatan laporan ini merupakan data historis perusahaan 1 periode ( bulan Februari s/d bulan Maret 2007).
3.Objek penelitian adalah Bimoli classic.

TINJAUAN PUSTAKA
Six sigma adalah suatu framework atau sistem yang komperhensif dan fleksibel untuk melakukan proses perbaikan yang berkesinambungan. Six Sigma secar unik dikendalikan oleh pemahaman yang kuat terhadap kebutuhan pelanggan. Six Sigma memiliki dua metodologi, yaitu (1) six sigma – DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control) dan (2) Design For Six Sigma – DFSS DMADV (Define, Measure, Analyze, Design, Verify
Salah satu ciri dari sistem pengendalian kualitas modern adalah bahwa di dalamnya terdapat aktivitas yang berorientasi pada tindakan pencegahan kerusakan, dan bukan berfokus pada upaya untuk mendeteksi kerusakan saja.

Model Perbaikan Six Sigma
Dalam Six Sigma ada siklus 5 fase DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control) yaitu proses peningkatan terus menerus menuju target six sigma. DMAIC dilakukan secara sistematik berdasarkan pengetahuan dan fakta. DMAIC merupakan suatu proses closed–loop yang menghilangkan langkah–langkah proses yang tidak produktif, sering berfokus pada pengukuran–pengukuran baru dan menerapkan teknologi untuk peningkatan kualitas menuju target six sigma.
DMAIC terdiri atas lima tahap utama [7]:
1.Define
Define merupakan langkah pertama dalam pendekatan Six Sigma. Langkah ini mengidentifikasi masalah penting dalam proses yang sedang berlangsung.
2.Measure
Measure merupakan tindak lanjut dari langkah Define dan merupakan sebuah jembatan untuk langkah berikutnya yaitu Analyze. Langkah measure memiliki dua sasaran utama, yaitu :
1.Mendapatkan data untuk memvalidasi dan mengkuantifikasi masalah atau peluang.
2.Memulai menyentuh fakta dan angka-angka yang memberikan petunjuk tentang akar masalah. Milestone (batu loncatan) pada langkah measure adalah mengembangkan ukuran sigma awal untuk proses yang sedang diperbaiki.
3.Analyze
Langkah ini mulai masuk kedalam hal-hal detail, meningkatkan pemahaman terhadap proses dan masalah, serta mengidentifikasi akar masalah. Pada langkah ini, pendekatan Six Sigma menerapkan statistical tool untuk memvalidasi akar permasalahan. Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengetahui seberapa baik proses yang berlangsung dan mengidentifikasi akar permasalahan yang mungkin menjadi penyebab timbulnya variasi dalam proses. Untuk mengetahui seberapa baik proses berlangsung, maka perlu adanya suatu nilai atau indeks yaitu Indeks Kemampuan Proses (Process Capability Index).
4.Improve
Selama tahap ini, diuraikan ide-ide perbaikan atau solusi-solusi yang mungkin untuk dilaksanakan.
5.Control
Sebagai bagian dari pendekatan Six Sigma, perlu adanya pengawasan untuk meyakinkan bahwa hasil-hasil yang diinginkan sedang dalam proses pencapaian.

Kapabilitas Proses dan DPMO
Indeks kapabilitas dan indeks kinerja dalam fungsional yang tersebar secara luas diukur berdasarkan tolok ukur umum dari kapabilitas proses atau kinerja dalam relasi kebutuhan spesifikasinya. Tiga indeks kapabilitas untuk kestabilan aktivitas proses dalam distribusi normal dapat dihitung dengan rumus [5]:
Pendekatan pengendalian proses Six Sigma dari Motorola (Motorola Company’s Six Sigma Process Control) mengijinkan adanya pergeseran nilai rata – rata (mean) dari proses industri sebesar ± 1,5σ, sehingga akan menghasilkan tingkat ketidaksesuaian sebesar 3,4 per sejuta kesempatan (3,4 DPMO = Defect Per Million Opportunities), artinya setiap satu juta kesempatan akan terdapat kemungkinan 3,4 ketidaksesuaian [5]. Konsep ini berbeda dengan “True 6 – Sigma Process” yang secara teori statistika dihitung berdasarkan distribusi normal terpusat (normal distribution centered) akan menghasilkan tingkat ketidaksesuaian sebesar 0,002 DPMO.

KESIMPULAN DAN SARAN
Proses produksi classic menghasilkan Indeks Kapabilitas Proses (Cp) sebesar 1,11 dengan nilai DPMO sebesar 967 dan nilai sigma 3,50 (rata–rata industri di Indonesia).
Faktor-faktor penyebab terjadinya penyimpangan PV pada produk Bimoli Classic adalah:
a.Minyak (olein) terlalu lama berada di dalam tangki penyimpanan. Jika suhu di dalam tangki sangat tinggi, maka minyak akan semakin banyak mengikat peroksida sehingga menyebabkan minyak menjadi bau dan kualitas minyak menurun atau membuat minyak cepat rusak.
b.Setting awal pada mesin yang tidak tepat.
c.Faktor manusia, seperti ketidaktelitian dalam pemeriksaan sampel, kurangnya pengawasan, dan kelelahan.
Berdasarkan analisis biaya yang dilakukan dari segi pemasaran (dalam analisis ini produk dikategorikan sebagai bulk), perusahaan mengalami kerugian sebesar Rp 108.000.000. Sedangkan jika perusahaan mengambil tindakannya tidak sesuai standar, maka perusahaan akan mengalami kerugian sebesar Rp150.000.000. Jadi tindakan perusahaan saat ini sudah sangat tepat, yaitu menjual olein yang PV-nya tidak sesuai standar sebagai bulk.
Untuk mendapatkan PV yang sesuai standar, hendaknya perusahaan menjalankan proses produksi serta inspeksi dengan lebih baik. Agar proses terkendali, sebaiknya perusahaan mempertahankan PV pada nilai -0,545 s/d 3,604.
Penyimpanan Olein didalam tangki penyimpanan sebaiknya tidak terlalu lama agar tidak menyebabkan kadar PV naik. Lamanya penyimpanan yang ideal yaitu 4 hari dengan suhu 35 – 50 ºC. Jika suhunya lebih tinggi, maka waktu penyimpanan olein tidak boleh lebih lama dari 4 hari.
Perlu diperhatikan juga apakah setting untuk pengolahan sudah tepat serta melakukan inspeksi setiap empat jam. Hal ini dilakukan untuk mencegah standar PV keluar dari batas maksimum yang diijinkan.
Pada penelitian selanjutnya, diharapkan agar penelitian juga dilakukan pada unit lainnya, seperti unit Refinery.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar